Article written

  • on 15 Agustus 2009

Senandung Sendu Beban TKW

Bermacam cerita pilu menyeruak saat saya menyimak obrolan tenaga kerja wanita (TKW) di sebuah asrama Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) Semarang, dua bulan lalu. Sebagian besar mereka tidak menghiraukan lagi atas persoalan keluarga yang "harus" ditutup rapat sebagai privasi. Terpenting bagaimana bisa plong dengan membagi keluh-kesah "senandung sendu". Ini untuk membuang sial selama di rumah dan demi mendapat kekuatan untuk mencari pendapatan di negeri rantauan.
Sebutlah TKW yang berinisial Marni, dia memutuskan menjadi TKW disebabkan suaminya belum bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari, karena memang masih menganggur. Waktu itu, baru beberapa hari saja ia masuk ke asrama, langsung akrab dengan teman-teman senasib dan mencurahkan hati atas kondisi diri dan keluarganya.
Sementara itu Parti—sebutlah demikian—, berlatar karena banyak hutang. Keluarganya yang pas-pasan malah ditambah kelakuan suami yang tidak karuan. Suaminya sering "minum" lengkap dengan

Oleh Ani Maskanah

Bermacam cerita pilu menyeruak saat saya menyimak obrolan tenaga kerja wanita (TKW) di sebuah asrama Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) Semarang, dua bulan lalu. Sebagian besar mereka tidak menghiraukan lagi atas persoalan keluarga yang "harus" ditutup rapat sebagai privasi. Terpenting bagaimana bisa plong dengan membagi keluh-kesah "senandung sendu". Ini untuk membuang sial selama di rumah dan demi mendapat kekuatan untuk mencari pendapatan di negeri rantauan.
Sebutlah TKW yang berinisial Marni, dia memutuskan menjadi TKW disebabkan suaminya belum bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari, karena memang masih menganggur. Waktu itu, baru beberapa hari saja ia masuk ke asrama, langsung akrab dengan teman-teman senasib dan mencurahkan hati atas kondisi diri dan keluarganya.
Sementara itu Parti—sebutlah demikian—, berlatar karena banyak hutang. Keluarganya yang pas-pasan malah ditambah kelakuan suami yang tidak karuan. Suaminya sering "minum" lengkap dengan kegemaran judi yang meresahkan. Sehingga rumah dan seisinya tergadai akibat ulah suaminya. Akhirnya berbekal pinjaman seorang teman, ia, suami, dan anaknya ngontrak sebuah kamar kecil.
Karena kesetiaan Parti yang masih berharap akan kebaikan suaminya, lebih-lebih demi anaknya yang masih satu tahun agar tetap mempunyai keluarga yang utuh, ia tidak berhasrat bercerai. Malah ingin mencukupi kebutuhan keluarga dengan kerja di negeri tetangga.
Ada juga Ratri (nama samaran), ia nekad menjadi TKW untuk menghilangkan stres yang didapat dari ketidakharmonisan hubungan dengan suaminya. Penghasilan keluarga hanya dihabiskan suaminya sendiri. Selain itu, sang suami juga sering mengasarinya.
Karena itulah, untuk bertahan hidup ia harus memberanikan diri menjadi TKW. Padahal sebelumnya, karena banyaknya berita dan cerita tentang TKW yang disetrika, disiram air panas, diperkosa, dilempar dari tingkat, beban kerja yang berlebih (dari subuh sampai jam dua dini hari), sampai tidak digaji, menjadikannya anti dan takut menjadi pramuisma di negeri orang. "Namun, apa daya, hanya itu (menjadi TKW) yang bisa saya lakukan," keluh Ratri.
Marni, Parti, dan Ratri adalah gejala sekaligus cermin (budaya) masyarakat (TKW) kita. Para psikiater seperti yang dijelaskan Jalaluddin Rahmat (Ulumul Qur'an, 1994), mengenakan gejala ini hanya kepada perempuan –yang tetap setia di sisi suami walau disakiti dan diperlakukan tidak baik. Pilihan ini disebabkan karena "tuntutan" lingkungan atau tradisi masyarakat yang dipandang sebagai kelainan jiwa. Sedangkan, suami yang tidak menghiraukan perasaan istri, yang (hanya) mengejar "keinginannya" dengan mengabaikan rumahtangga, atau memukuli pasangan sebagai kesenangan, tidaklah dianggap sebagai kelainan jiwa, namun hanya dianggap "korban" lingkungan.
Biasanya, tegas Rahmat, perempuan berkorban untuk kebahagiaan lelaki; pada saat lelaki mengorbankan perempuan untuk mengejar kesenangan sendiri. Perempuan bersedia menderita karena memperhitungkan suami dan anak-anaknya. Lelaki mau menderita karena memperhitungkan kepentingannya, sekarang atau masa depan!
Beban TKW
Beban yang dibawa para TKW dari rumah masing-masing, ternyata, masih ditambah kurang adanya perlindungan memadai, baik dari pemerintah, LSM, maupun PJTKI itu sendiri. Sehingga bila ada kasus yang menimpa TKW, merekalah yang banyak mendapat kerugian. Walaupun dalam prosedur sebuah kasus, TKW selayaknya menang dan tidak patut dikalahkan, namun ujung-ujungnya mereka yang menjadi korban.
Ini disebabkan memang posisi TKW sangat lemah di bawah bayang-bayang PJTKI dan majikan. Karennya advokasi pemerintah (baik Indonesia maupun pemerintah tempat kerja TKW), serta LSM yang memahami pergulatan TKW seharusnya lebih mengambil signifikansinya di situ. Tidak hanya pemerintah dan LSM, namun semua masyarakat, dimulai dari tingkat keluarga, RT, RW, kelurahan, sampai PJTKI-nya sendiri berperan besar dalam perlindungan dan pendampingan terhadap TKW.
Berdasarkan pegakuan—sebut saja Siti—, seorang penyalur TKW yang sudah bergelut di dunia PJTKI selama empat belas tahun, sebagian TKW mendapat perlakuan kurang manusiawi sejak di asrama atau penampungan TKW sampai di tempat kerja. Seperti yang terjadi pada –katakanlah Atun, seorang TKW yang ingin keluar dari sebuah asrama PJTKI karena tidak betah dengan suasana "keras" di dalamnya. Apa yang terjadi? Ia dipaksa merelakan kehormatannya terlebih dahulu sebagai syarat keluar dari asrama.
Ada pula seorang perempuan yang masuk pada sebuah PJTKI, ternyata dua minggu kemudian ia hamil, lalu dipulangkan pihak PJTKI ke rumah. Anehnya perempuan itu malah didenda, karena menurut pihak PJTKI, ia telah di-p¬assport-kan. Denda itu untuk mengganti biaya paspor tersebut.
Padahal, perempuan itu masih di dalam daftar tunggu atas kejelasan hamil atau tidaknya. Sedangkan menurut aturan di PJTKI sudah jelas, bahwa setiap yang masuk dalam daftar tunggu tentang apakah seorang TKW hamil atau tidak, pihak PJTKI tidak boleh mempasporkan terlebih dahulu.
Karena kekurangpahaman si perempuan, akhirnya keluarganya membayar denda yang ditentukan PJTKI tersebut. Denda ini tentu menambah kepedihan si perempuan yang berlatar lemah secara ekonomi. Sebenarnya, kasus seperti ini menurut Siti, bisa diselesaikan tanpa adanya denda terhadap si perempuan, jika si korban mau melapor ke pihak yang berwajib.
Sementara itu, kasus yang terjadi pada TKW: Keni binti Carda Bodol, juga menyesakkan dada. Pihak Kedutaan Besar Arab Saudi di Indonesia mempersulit pengurusan kasus TKW yang dianiaya. Keadilan yang dicari Keni pun terhambat perijinan yang tidak kunjung dikeluarkan pihak Kedubes. Kini, Keni yang telah berada di Indonesia tengah mencari keadilan akibat perlakuan semena-mena majikannya di negeri kaya minyak itu. Ia disetrika dan disiksa majikan perempuannya, Huwafa al-Quraisy, pada Oktober 2008 lalu (detikcom, 14/4/2009). Yang dilakukan Keni sudah tepat, yaitu berusaha mendapatkan keadilan walau jalan berliku harus dilalui.
"Dunia penyaluran TKW dari dulu sampai sekarang memang kejam. Lebih-lebih bagi penyalur yang hanya mengambil untung tanpa memperhatikan kondisi TKW yang sesungguhnya. Sehingga jika ingin masuk di dunia PJTKI harus dipertimbangkan masak-masak. Atau sebaiknya jangan masuk ke lingkaran itu," himbau Siti.
TKW: Warga Negara
TKW sebagai warga negara, penghasil devisa, yang rawan dikorbankan itu harus mendapat perlindungan dari semua. Karena rata-rata perempuan yang memutuskan pergi menjadi TKW dapat dipastikan mempunyai masalah keluarga yang pelik. Sehingga kondisi psikologis mereka cenderung lemah dan mudah dipontang-pantingkan pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab.
Polisi sebagai ujung tombak pemerintah dan masyarakat dalam memberantas ketidakadilan, berperan besar dalam persoalan TKW ini. Baik dari awal "konflik" di keluarga TKW, proses keberangkatan, waktu bekerja, sampai kepulangannya ke tanah air.
Setidaknya polisi dalam kasus-kasus keluarga atau kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) harus sudah memaksimalkan UU No. 23 tentang Penghapusan KDRT, karena pelakunya dapat dijerat pidana, meski sifatnya masih delik aduan. Tidak seperti selama ini, ada beberapa oknum polisi, jika ada perempuan mengadu tentang KDRT (maupun kasus-kasus TKW) malah diojok-ojoki bahkan diintimidasi untuk (damai) mencabut aduan. Dari situ pemerintah harus segera meningkatkan "delik aduan" tersebut ke tingkat kejahatan murni, seperti yang telah diundangkan di Jerman dan negara-negara lain.
Selanjutnya koordinasi antara pemerintah Indonesia dengan negara tujuan TK(W)I dalam mengatur regulasi dan penyelesaian perkara-perkara TK(W)I diniscayakan lebih kooperatif. Cerita penanganan lamban dan merugikan TKW tentu menjadi catatan hitam yang harus segera dirubah pemerintah. Di sini peran TKW sendiri sangat menentukan untuk menyelesaikan setiap kasusnya. Mereka harus berani membela diri dan melaporkan setiap ketidakadilan yang menimpa diri dan sesamanya.
Masalahnya, kebanyakan TKW kita tidak berani dan malas melapor ke pihak yang berwajib. Takut diancam (karena belum ada sepenuhnya jaminan keamanan) yang berkasus dengannya. Atau malas, karena biaya penyelesaian untuk “ngamplopi” pihak-pihak terkait (polisi) terlalu besar!

-- Ani Maskanah,
mantan guru bahasa Inggris sebuah PJTKI di Semarang dan bendahara SKM Amanat.

Missi Magazine is powered by FREEmium Theme.
developed by Blogger templates and brought to you by Blogger Tools