Article written

  • on 15 Agustus 2009

इदेलोगी Korupsi

tidak kerja diluar saja, cari sampingan?”. Demikian, pertanyaan yang sering muncul di “ruang kerja”. Ternyata pekerjaan sampingan berubah dan menjelma, menjadi koruptif kecil-kecilan, atau “kelas teri” yang belum diundang-undangkan. Tentunya, perilaku koruptif kelas teri ini membuat keprihatinan bersama. Pasalnya saat ini, seorang koruptor bisa menjadi kaya sangat mudah, serta menghasilkan uang yang banyak.
Korupsi, kata beken saat ini yang dipakai oleh pejabat, yang suka maling, ngapusin dan ngutil uang Negara atau uang bukan milik sendiri. Saat ini apa...............


tidak kerja diluar saja, cari sampingan?”. Demikian, pertanyaan yang sering muncul di “ruang kerja”. Ternyata pekerjaan sampingan berubah dan menjelma, menjadi koruptif kecil-kecilan, atau “kelas teri” yang belum diundang-undangkan. Tentunya, perilaku koruptif kelas teri ini membuat keprihatinan bersama. Pasalnya saat ini, seorang koruptor bisa menjadi kaya sangat mudah, serta menghasilkan uang yang banyak.
Korupsi, kata beken saat ini yang dipakai oleh pejabat, yang suka maling, ngapusin dan ngutil uang Negara atau uang bukan milik sendiri. Saat ini apa Cuma pejabat saja yang bisa korupsi? Pertanyaan konyol bagi orang awam yang belum tau definisi korupsi. Secara definitive, dalam kamus ilmiah. Korupsi adalah kecurangan; penyelewengan atau penyalahgunaan jabatan untuk kepentingan diri; pemalsuan.
Sudah barang tentu, korupsi bukan saja meliputi penipuan, pemalsuan dan maling uang Negara saja, seperti yang marak diberitakan berbagai media. Namun, korupsi secara etimologi dapat diartikan lebih luas. Saat ini perilaku korup berada dekat dengan kehidupan kita, dan bahkan sering kali tanpa sadar, sifat-sifat korup bisa hinggap dalam diri manusia tanpa melihat siapa orangnya?, berpangkat apa?, dan dari golongan mana.
Dalam kehidupan civitas akademika misalnya, seorang guru atau dosen yang telat mengajar, mahasiswa yang telat kuliah atau mengumpulkan tugas, dan lain sebagainya, dapatkah digolongkan perilaku korup?. Tanpa disadari, mereka telah melakukan nilai-nilai korupsi. Meski demikian, para pelakunya dapat juga dinamakan koruptor, bukan “makan uang” melainkan “makan waktu”.
Selanjutnya, bisa dilihat perilaku korup di lembaga-lembaga atau organisasi-organisasi yang mengatasnamakan kepentingan umum, dan ingin membantu hajat hidup orang banyak. Namun sayang, pola koruptif menjadi doktrin yang mau tidak mau harus lakukan, dan diperparah lagi oleh orang-orang yang berpendidikan, tahu hukum formal dan hukum agama.
KPK saat ini, sedang gencar menjerat para koruptor untuk dimasukan dalam jeruji penjara, dengan jeratan pasal-pasal dan undang-undang tentang korupsi. Namun, di lingkungan kita, belum ada hukum yang pasti untuk menghukum orang-orang yang korupsi waktu. Siapakah yang menghukum orang-orang yang korupsi terhadap waktu?. Apakah KPK juga yang harus menangani ini.
Menyitir ungkapan yang dinyatakan Bang Napi, “korupsi dapat terjadi, bukan karena niat dari para koruptor saja, tapi juga adanya kesempatan. Jadi waspadalah!”
Substansi pemberantasan korupsi bukanlah pada penindakan. Tapi, pencegahan. Karena, penindakan dilakukan setelah adanya korupsi. Persis pemadam kebakaran. Sedangkan, pencegahan justru dilakukan di muka. Tujuannya untuk menutup peluang semaksimal mungkin bagi terjadinya korupsi. Apa bentuknya? Pengembangan budaya antikorupsi dan dilakukannya reformasi birokrasi. Tapi sayang orang yang dulu, mengglangkan anti korupsi setelah masuk dalam sebuah sistem malah menikmati bahkan menjadikan itu sebuah buyada yang akhirnya digeluti, ironis bukan…..?
Lihat saja tetangga kita yang malah terang-terangan meminta yang bukan haknya, dengan dalih besok kalau ada uang beasiswa dapat lagi, asal bayar upeti. Waduh kalau lingkungan hukum kita melanggar hukum terus bagaimana yang tidak tahu hukum……? Malah kemarin terdengar bisik-bisik ada praktek korup yang dilakukan senior terhadap yuniornya oleh kegiatan ekstra terhadap intra. Coba bayangkan kalau kita diminta untuk meminta dana dipa dari fakultas untuk kegiatan intra kampus, wah….bisa-bisa kita kehabisan dana untuk bayar upeti…….! dan itu sudah terjadi cukup lama, tapi tidak ada yang berani memberantasnya, meski ada sebagian yang tidak setuju.
Seharusnya budaya antikorupsi tumbuh melalui promosi dan penanaman nilai-nilai kejujuran, keterbukaan, dan malu berbuat curang. Akarnya bisa dari agama dan tradisi setempat. Jalurnya, bisa melalui sekolah, keluarga, ataupun berbagai bentuk kampanye lainnya. Motornya bisa Komisi Pemberantasan Korupsi, atau lingkungan yang tahu akan hukum. Namun, tentu tak akan efektif tanpa keterlibatan seluruh lapisan masyarakat. Ia harus menjadi gerakan sosial dan masif. Namun, di manapun, individu dan peran pemerintah tetaplah yang paling sentral. Karena, di sana ada organisasi, sumber daya, dan dana.
Kini korupsi menjadi topik utama dalam wacana masyarakat. Kendatipun demikian belum satupun obat yang terbukti manjur dalam memberantas epidemi korupsi. Akibatnya sebagian masyarakat merasa pesimis dengan agenda pemberantasan korupsi. Sebab, agenda itu hanya menyentuh masyarakat kecil atau di daerah saja, sementara untuk orang-orang besar dalam birokrasi dan di lingkungan kita yang tahu akan hukum, belum terfaktakan sama sekali.
Korupsi di Indonesia sudah menjadi kejahatan struktural, kekerasan sebagai hasil interaksi sosial yang berulang dan terpola bahkan tersistem dengan rapi dan dilindungi yang menghambat orang untuk bisa berbuat lebih bersih.
Begitu mengakarnya korupsi sampai membentuk struktur kejahatan, yaitu ”faktor negatif yang terpatri dalam berbagai institusi masyarakat yang bekerja melawan kesejahteraan bersama” (B Sesboüé, 1988:27). Bahkan, karena sistematis, korupsi sudah seperti mafia. Munculnya organisasi model mafia menunjukkan gejala krisis institusional negara di mana ketidak adilan lebih dominan daripada keadilan; korupsi merajalela sampai mengaburkan batas antara yang boleh dan dilarang, yang legal dan ilegal, pelanggaran dan norma (L Ayissi, 2008:58). Jadi, korupsi telah menjadi kejahatan yang amat mengakar dan habitus buruk bangsa.
Seandainya kita sendiri bisa menyadari hal itu, maka besar untuk jadi orang yang bersih dan anti korupsi dari sekarang, dan kesadaran dari individu sangatlah penting, jangan berfikir yang pragmatis jika ingin jadi kaya dan sukses, tapi belajarlah dari kesulitan dan ketiadaan yang menjadi ada. Sehingga kita akan terhindar dari perbuatan korupsi dan mengambil hak orang. Apa lagi kita tahu mana yang manfaat dan mana yang tidak, mana yang baik dan yang buruk. Jadi sangat lah tidak pantas jika kita akhirnya melakukan hal yang kita tahu tidak boleh, tapi malah melakukannya. Apa lagi fakultas dakwah yang identik dengan amar ma’ruf nahi mungkar. Jadi tugas kita salah satunya adalah memberantas korupsi, jika belum bisa dalam lingkup yang besar setidaknya kita mulai dari yang kecil, minimal dari kita sendiri.

By: Khorisah

Missi Magazine is powered by FREEmium Theme.
developed by Blogger templates and brought to you by Blogger Tools