Article written

  • on 15 Agustus 2009

Perempuan sebagai pelengkap Parpol

Kaum perempuan sering dianggap orang kedua setelah laki-laki, tidak bisa melakukan peran yang dilakukan kaum laki-laki, dan perempuan hanya kaum yang berurusan dengan rumah tangga seperti mengurusi dapur, kasur, sumur.
Mereka (perempuan-Red) memperjuangkan kesetaraan hak dan perlakuan yang sama dengan laki-laki, baik itu dalam pekerjaan, politik maupun dalam pemerintahan.
Hasil pemilu 2004 menunjukkan keterwakilan kaum perempuan masih rendah. Perempuan yang menjadi anggota DPR sekitar 11,5 persen, masih jauh bila disandingkan dengan keanggotaan laki-laki di DPR sebesar 88,5 persen. Dalam percaturan politik di Indonesia saat ini, kaum perempuan ikut menjadi pelaku dan turut andil di dalamnya, namun begitu, dunia politik......

Kaum perempuan sering dianggap orang kedua setelah laki-laki, tidak bisa melakukan peran yang dilakukan kaum laki-laki, dan perempuan hanya kaum yang berurusan dengan rumah tangga seperti mengurusi dapur, kasur, sumur.
Mereka (perempuan-Red) memperjuangkan kesetaraan hak dan perlakuan yang sama dengan laki-laki, baik itu dalam pekerjaan, politik maupun dalam pemerintahan.
Hasil pemilu 2004 menunjukkan keterwakilan kaum perempuan masih rendah. Perempuan yang menjadi anggota DPR sekitar 11,5 persen, masih jauh bila disandingkan dengan keanggotaan laki-laki di DPR sebesar 88,5 persen. Dalam percaturan politik di Indonesia saat ini, kaum perempuan ikut menjadi pelaku dan turut andil di dalamnya, namun begitu, dunia politik seolah-olah masih menjadi milik laki-laki. “Perempuan terus terkukung dan dipandang sebagai mahkluk kelas dua”. Tutur Mutia Hatta, Menteri Pemberdayaan Perempuan dalam dialog Perempuan Antar Generasi Perempuan Indonesia Problematika dan Solusi Peran Politik Perempuan Menghadapi Pemilu 2009.
Seiring perkembangan zaman kaum perempuan telah bangkit dan membuktikan dirinya tak lagi ingin dinomorduakan. Zaman sekarang kaum hawa di Indonesia menduduki jabatan penting dalam pemerintahan, semisal Rustringsih (Wakil Gubernur Jawa Tengah), Rina Iriani S. Ratnaningsih (Bupati Karanganyar Jawa Tengah), Haeny Relawati Rini Widyatuti, (Bupati Tuban Jawa Timur), Ratna Ani Lestari (Bupati Banyuwangi, Jawa Timur), Marlina Moha Siahaam (Bupati Bolang Sulawesi Utara), Siti Nurhayati (Bupati Nganjuk Jawa Timur), Suryati A. Manan (Walikota Tanjung Pinang) dan Vonnie Anneke Panambunan (Bupati Minahasa Utara).
Dalam dunia politik, perempuan mulai diperhitungkan dan sebagian besar sebagai penentu kemenangan dalam setiap pesta demokrasi. Perempuan juga mengendalikan parpol (partai politik) dan menempati posisi penting di partai politik peserta pemilu. Seperti Megawati Soekarnoputri (Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan), Amelia Achmad Yani (Ketua Umum Partai Peduli Rakyat Nasional), Kartini Syahrir (Ketua Umum Partai Perjuangan Indonesia Baru), Sukmawati Soekarnoputri (Ketua Umum Partai Nasional Indonesia Marhenisme).
Dalam buku Aspek Keterwakilan Perempuan di Parlemen, terbitan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia yang menyatakan bahwa perlu adanya strategi khusus yang dilakukan pemerintah untuk memacu kesejahteraan laki-laki dan perempuan secara de-facto, tidak dianggap sebagai diskriminasi dan perlunya reformasi partai politik (partai harus memasukkan affirmative action pada setiap tindakan politik antara lain perekrutan, penominasian dan promosi bagi caleg perempuan).
Pembuat keputusan (aktor politik) selama ini belum memihak gender. Dalam proses perumusan kebijakan dan peraturan undang-undang (UU). Perempuan belum sepenuhnya diikutsertakan dan hanya sebatas menerima kebijakan tanpa memiliki akses dan kontrol untuk memberi masukan, kritik dan perubahan kebijakan sehingga akibat dan dampaknya sangat tidak menguntungkan perempuan.

Kuota 30 persen
Selama ini, perempuan kurang diperhitungkan bahkan kualitas perempuan dihargai lebih rendah dari laki-laki dan dikucilkan dalam sistem politik yang di dominasi laki-laki. Perempuan yang menjadi caleg di salah satu partai politik masih dianaktirikan, semisal caleg perempuan dipasang di nomor urut bawah.
Dengan adanya peraturan 30 persen, tiap politikus perempuan mendapat angin segar, dia (perempuan-Red) mempunyai hak yang sama dalam persaingan menjadi calon legislatif karena kemampuan perempuan mempunyai kualitas yang sama dengan laki-laki.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan PBB, jumlah minimum 30 persen merupakan suatu “critical numbers” yang harus dicapai untuk memungkinkan terjadinya suatu perubahan suatu “critical mass” yang memberikan dampak pada kualitas keputusan yang diambil dalam lembaga-lembaga publik. Dengan dicantumkannya jumlah minimum 30 persen, berarti target yang harus dicapai bisa diukur sejauh mana terjadi perubahan. Jumlah 30 persen ditetapkan untuk menghindari dominasi dari satu jenis kelamin dalam lembaga-lembaga politik yang merumuskan kebijakan publik. Keterwakilan perempuan maupun laki-laki tidak boleh lebih dari 70 persen.
Menurut Mutia, Dengan adanya 30 persen perempuan diharapkan akan mampu merumuskan kebijakan-kebijakan negara yang dapat memberdayakan perempuan.
Perempuan yang duduk di parlemen, agar menyalurkan aspirasi dan kepentingan perempuan dalam proses pembahasan rancangan perundang-undangan melalui mekanisme kuota perempuan, “Perempuan menjadi mitra yang setara dengan laki-laki dalam membangun bangsa,” tegas Mutia dalam seminar nasional bersama menteri-menteri perempuan Kabinet Bersatu.
Sementara itu, Joko Prihatmoko pengamat politik di Semarang menuturkan, kuota 30 persen perempuan di parlemen sebagai salah satu tolak ukur penegakan prinsip demokrasi di Indonesia. Kuota ini, khusus untuk jabatan publik.
Perempuan yang memegang jabatan publik tidak terlalu bebas karena perempuan masih terikat oleh budaya patriakhi yang diterapkan, “Gerak perempuan masih terkurung di wilayah privat,” ungkap Joko. Sedangkan laki-laki mempunyai kesempatan lebih besar untuk mempunyai kedudukan dalam masyarakat.
Dengan dikeluarkannya UU nomor 10/2008 melalui pasal 53 menyatakan, dalam daftar bakal calon anggota legislatif yang diajukan partai harus memuat paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan. Angka 30 persen ini berlaku untuk tingkat DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten atau Kota. Kuota ini membawa dampak positif bagi caleg perempuan untuk bisa duduk di Senayan dan banyak caleg perempuan dari lokal atau daerah yang memperjuangkan aspirasi perempuan
Ini bisa dilihat secara kasat mata, setiap daerah di indonesia yang mempunyai caleg perempuan terbanyak yakni Jawa Barat 635 caleg perempuan (16,3 persen), disusul Jatim 505 caleg (13 persen) dan Jateng 467 (12 persen), Daerah luar Jawa yang mengajukan banyak caleg perempuan adalah Sumatera Utara dengan 213 caleg (5,5 persen), Sulawesi Selatan dengan 123 caleg (3,2 persen).
Daerah-daerah yang sedikit mengajukan caleg perempuan untuk DPR adalah daerah yang merupakan Provinsi pemekaran baru, seperti Sulawesi Barat, Maluku Utara, Papua Barat, Gorontalo, Kepulauan Riau, dan Kepulauan Bangka Belitung dengan kisaran 20-30 caleg perempuan per daerah. (Kompas, 9 Februari 2009)
Dari data KPU Pemilihan Legislatif (Pileg) tahun 2009, caleg perempuan yang diajukan partai politik memiliki kualitas yang memadai, tidak jauh beda dengan laki-laki apabila bila dibandingkan dengan pemilu 2004. Sebagian besar caleg perempuan pada Pileg tahun 2009, berpendidikan sarjana sebanyak 53,7 persen, sedangkan jumlah laki-laki dengan pendidikan yang sama 58,9 persen.

Suara Terbanyak
Dalam partai politik peserta pemilu 2009, banyak caleg perempuan yang ditempatkan di urutan nomor kecil, atau peluang menjadi legislatif minim, “Partai hanya untuk memenuhi syarat, kuota 30 persen bagi perempuan, dan di pasang di nomor yang mempunyai kesempatan kecil untuk maju” tutur Siti Suprihatingtyas, anggota KPU Kota Semarang.
Tanpa memperhatikan kualitas perempuan, banyak partai yang memasang caleg perempuan di nomor urut 3 untuk mendongkrak suara, padahal mereka (Caleg Perempuan, Red) memperoleh suara terbanyak tapi yang jadi legislatif nomor urut 1, “Perempuan masih dipasang sebagai pelengkap untuk pengajuan caleg” Ujar Ning.
Ning menuturkan bahwa dengan dikeluarkannya keputusan Mahkamah Konstitusi, UU Nomor 10/2008 menyatakan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak, memberikan peluang bagi caleg perempuan untuk terpilih dan mereka dapat bersaing dengan caleg laki-laki untuk memperoleh suara terbanyak. “Para caleg perempuan lebih berpontesi maju sebagai legislatif karena mempunyai basis-basis massa yang jelas, semisal pengajian dan arisan” lanjut Ning.
Sebelum dikeluarkannya UU oleh Mahkamah Konstitusi tentang sistem suara terbanyak, perempuan tidak mempunyai kesempatan menjadi anggota legislatif. “Di Kota Semarang hanya tiga orang caleg perempuan yang sudah dipastikan menjadi anggota legislatif” tegas anggota KPU ketika dihubungi melalui telepon.
Joko mengatakan, suara terbanyak mayoritas tidak efektif dan akan menimbulkan kerancuan. Seharusnya perpolitikan di Indonesia menerapkan sistem Zipper (sistem satu laki-laki dan satu perempuan), dengan sistem ini perempuan mempunyai peluang yang sama dengan lelaki.
Pemilihan legislatif menggunakan suara terbanyak kurang menguntungkan caleg perempuan, karena masih terkendala konsistensi sosial yang terbentuk di masyarakat, “Caleg perempuan harus mempunyai strategi khusus untuk meraih suara terbanyak,” ujar Joko.
Lebih lanjut joko memberikan solusi, “Caleg perempuan harus mempunyai strategi empatik, karena dengan sistem ini akan lebih efektif untuk menjulang suara terbanyak”. (Ozzy)

Missi Magazine is powered by FREEmium Theme.
developed by Blogger templates and brought to you by Blogger Tools