Article written

  • on 01 September 2009

Aku Senang Bersamamu

oleh: Aqif

Alam semesta mulai menampakkan indahnya nuansa pagi, suara ayam berkokok kencang seiring sang laba-laba merangkai rumahnya di tengah-tengah rindangnya pohon mangga. Langkah kaki begitu bergegas menuju tempat biasanya aku menunggu angkutan umum lewat, tak lama kemudian
“ pasar-pasar, alun-alun, terminal Puri”.
Pegangan tangan kondektur seakan tidak mau lepas dari engsel pintu angkot nya. Aku segera melambaikan tangan ke arah angkutan tersebut.
“mau kemana mas?”
“mau menengok nenek pak, terminal Puri”.
Sementara aku berdiri di samping kondektur, dikarenakan tempat duduk sudah penuh dengan penumpang, tak lama kemudian ada salah satu penumpang turun, akhirnya aku mendapat tempat duduk, kurang lebih baru lima menit aku menempati tempat duduk itu, angkot berhenti mendadak dan ada seorang salah satu penumpang (ibu-ibu yang sedang hamil), aku berdiri dari tempat dudukku. Ku pikir, tempat duduk itu lebih tepat untuk seorang ibu yang sedang hamil. Karena naluri kemanusiaanku masih berjalan normal. Tak lama kemudian
“Terminal Puri…terminal Puri…terminal Puri Siapa yang turun?”
Dan aku turun di terminal puri, letaknya tidak jauh dari tempat dimana nenekku dirawat.
Aku belum tahu daerah ini, rumah sakitnya pun aku belum tahu, ku putuskan untuk bertanya.
“ Pak numpang tanya, dimana alamat rumah sakit Mardi Rahayu?” aku bertanya kepada bapak tukang becak. Dan ia menjawab dengan tergesa-gesa
“Mas jalan terus saja , ntar ada perempatan belok ke kiri, nanti di situ ada tulisannya Rumah Sakit Mardi Rahayu”
“Terima kasih pak”.
Aku segera bergegas ke arah yang sudah di kasih tahu oleh tukang becak tadi, dan masuk pintu utama rumah sakit untuk menuju ke ruang dimana nenek dirawat, akhirnya saya bertemu dengan nenek yang tersenyum melihat kedatanganku “ silakan masuk!” Suara nenek yang masih lemas.
Aku segera masuk.
“kamu datang pagi sekali, nenek sudah sembuh kok, besok juga sudah boleh pulang, bapak dan ibu mana?”
“Bapak dan ibu masih di pasar nek”.
Besok nenek sudah sembuh dan bisa dibawa pulang ke rumah. Hatiku senang sekali mendengarnya.
Tak lama kemudian bapak dan ibu datang.
“Bu’ nenek besok sudah boleh dibawa pulang jadi kita bisa berkumpul lagi sama nenek”. Kataku dengan wajah yang penuh ceria.
“Jadi kita pulangnya besok saja bareng nenek ya dek…!” Ibu sambil mengelus-elus tangan nenek.
Malam sudah berlalu, suara dering alarm di HP-ku mencoba membangunkanku dari nyenyak tidurku. Aku segera membereskan barang-barang yang ada di sekitar tempat tidur nenek, tak lama kemudian ada seorang dokter menghampiri ortu’ku dan memberitahukan bahwa nenek sudah bisa dibawa pulang. Akhirnya aku, bapak, ibu bersama nenek bergegas untuk segera pulang ke rumah.
Sesampainya di rumah, aku mencoba membawa nenek menuju ke kamarnya.
“tolong nak ambilkan tongkatku!” pinta nenek.
“Nenek harus banyak istirahat, karena nenek baru saja sembuh dari sakit”. Aku menuangkan air putih ke dalam gelas, untuk nenek.
“Bapak mau mengantar ibu jualan sayur di pasar, jaga nenek ya!” kata bapak sambil terlihat sibuk membawa dagangan ibu ke kendaraan. Mau tidak mau aku harus menjaga nenek sampai bapak dan ibu pulang dari pasar. Nenek bercerita panjang lebar tentang masa lalunya kepadaku, bahkan pada masa ibu masih kecil hingga sekarang. Aku memperhatikan bagian demi bagian dari ceritanya.
Hari sudah mulai siang. Perutku mulai lapar, dengan pikiran yang tidak tenang aku berjalan meninggalkan nenek,
“nek biyung tak makan dulu ya nek?”
sambil menutup pintu kamar nenek dan menuju kemeja makan.
Ketika aku tengah makan, aku teringat saat masih kecil kalau makan selalu disuapin nenek . Tak lama kemudian terdengar suara batuk-batuk nenek di balik ruang meja makan, aku segera menghentikan makan, dan berlari ke arah dimana nenek beristirahat. Aku gugup dan was-was ketika melihat nenek, keringatku mulai mengalir deras dan detak jatungku berdetak semakin cepat.
“Astaghfirullah, Astaghfirullah, Astaghfirullah…..Haladzim”.

Aku istighfar dengan mulut yang bergetar. Aku kaget melihat nenek mengacungkan jarinya ke arah luar, dan ingin mengucapkan sesuatu kepadaku, namun nenek tidak mampu berbicara karena batuk yang sangat keras sekali menghambat perkataan yang ingin disampaikannya kepadaku.
Dan aku segera mengambilkan nenek minum.
“minum dulu ya nek!”.
setelah minum batuk nenek langsung reda.
“Nak tolong obat nyamuk bakarnya di matikan agar asapnya tidak mengganggu, dan tolong buka kan pintu jendela itu agar udara dari luar bisa keluar masuk!”.
“ iya..,Nek”. Sambil bengong.
Hati kecilku langsung minta maaf kepada nenek , karena aku sudah su’udhon kepada nenek. Karena ketika melihat kejadian itu aku langsung berfikir bahwa nenek mau syakarathul maut .
Aku berjalan kembali menuju ruang makan, mengingat makananku belum selesai ku makan. Sesuatu yang tidak terduga mengejutkanku.
“lho tadi lauknya sudah digoreng dan sudah mati kok, malah lauknya bernari-nari diatas piringku” berkerut dahuku.
Ternyata nasi dan lauk yang tadi belum selesai saya makan, dimakan segerombol anak ayam dan induknya,
“ Kutu ayaaaaamm…” jeritan sebelku yang keras menerobos dinding ruang makan. Dan terdengar suara nenek dari kamarnya….. maka aku langsung berlari menghampiri nenekku,
“Ada apa lagi, Nek?”
“ Memang sekarang ada ya? Kutu ayam..ha ha ha ha ” Sambil tertawa terbahak-bahak sampai kelihatan gusinya dengan hiasan giginya yang ompong. Hatiku sangat senang sekali ketika melihat nenek bisa tertawa terbahak-bahak. Aku berfikir bahwa kejadian yang sangat singkat tadi bisa membawa beberapa hikmah bagiku, dan saya berdo’a agar nenek bisa selalu menemaniku, dan aku tidak mau melihat nenek sakit lagi, bahkan aku tidak mau kehilangan nenekku.




Missi Magazine is powered by FREEmium Theme.
developed by Blogger templates and brought to you by Blogger Tools