Article written

  • on 01 September 2009

Politik Kampus

Politik memang tidak akan pernah lepas dari kehidupan manusia. Begitu pun juga yang terjadi dalam kehidupan di dunia perkuliahan atau lebih kompleks lagi dalam lingkup kampus. Kampus adalah tempat mencetak kaum-kaum intelek, hal itu menjadikan kampus tempat yang sangat strategis dalam pengembangan wacana, skill, dan keilmuan. Begitu pula dalam illmu pengetahuan berpolitik, mahasiswa dituntut untuk mengembangkan sendiri keilmuan yang mereka dapat dari proses belajar di dalam kelas dengan tetap mengindahkan disiplin ilmu. Dalam mengaplikasikannya perlu dengan pengalaman berorganisasi yang dapat menjadikan mahasiswa mampu terjun langsung di lapangan.
Kampus sebagai bentuk miniatur sebuah negara, di dalamnya terdapat birokrasi-birokrasi pemerintahan yang menjalankan amanat dari para mahasiswa. Kampus merupakan suatu wadah pengembangan skill dan kemampuan mahasiswa dalam berorganisasi dan juga menangani sebuah pemerintahan. Pemerintahan yang berada di bawah naungan Fakultas Dakwah terdiri atas Majelis Permusyawaratan Mahasiswa Fakultas (MPMF), Senat Mahasiswa (SEMA), Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) merupakan bentuk nyata dari sistem perpolitikan yang berjalan di lingkungan Fakultas Dakwah. Sebagaimana Fakultas Dakwah, setiap Fakultas di IAIN Walisongo juga telah memiliki wadah organisasi dengan nama masing-masing .
Peta politik berjalan mulai dari para pembesar yang berkecimpung dalam kubangan birokrasi, mahasiswa-mahasiswa aktivis yang bergelut dengan idealisme, ideologi, serta kepentingannya masing-masing, berperanan penting dalam mengendalikan berjalannya politik dikampus. Mahasiswa aktivis dalam Ekstra kampus sangat bisa menjadi orang yang berpengaruh menjadi politikus dan berkompeten dalam mengendalikan roda pemerintahan yang berjalan di kampus.
Berjalannya perpolitikan di kampus tidak terlepas dari campur tangan OMEK (Organisasi Mahasiswa Ekstra Kampus), meski dalam hal ini OMEK tidak terjun secara langsung. Tetapi dengan mayoritas suatu kelompok dapat memegang kendali birokrasi yang terdapat di dalam perguruan tinggi tersebut. Kelompok mayoritas maupun minoritas sama-sama mempunyai ambisi untuk menguasai kampus. Kelompok mayoritas yang dengan kader yang lebih banyak berusaha menggunakan kekuatan jumlah anggotanya untuk berkuasa. Sedangkan kelompok minoritas dengan sedikit massa, mereka menggunakan celah atau kelemahan kelompok mayoritas untuk menjatuhkan dan berusaha merusak citra kelompok mayoritas.
Menurut Esta (20) ketua HMJ KPI, berpendapat bahwa “mahasiswa dalam berpolitik ini tergantung dari personalnya, namun biasanya ia lebih dipegang oleh suatu sistem. Sistem yang berjalan pun masih dipegang kendali oleh sebuah organ yang tidak mungkin dapat dilepaskan dari sistem perpolitikan di kampus ini. Tetapi dalam menjalankan politik sendiri, mahasiswa diberi keleluasaan untuk mengaktualisasikan diri dengan cara tertentu selama hal tersebut masih dinilai etis dan layak karena setiap disiplin ilmu itu mempunyai etika”.
Sesuai sekali dengan apa yang dilontarkan oleh Qomari bahwa “mereka dalam setiap mengambil keputusan dan menjalankan suatu kegiatan yang dilakukan di Intra kampus masih bertanya kepada senior-senior yang sudah berpengalaman meskipun mereka orang ekstra, tapi dia menganggap dalam hal ini bukan sebagai orang ekstra tetapi melainkan sebagai seorang senior. Maka inilah yang menjadikan anggapan dari para mahasiswa bahwa sistem itu dikendalikan oleh ekstra tetapi mereka hanya meminta pendapat saja”, begitu tuturnya.
Lebih lanjut Evin (20) menuturkan bahwa politik yang berjalan di kampus ini sesungguhnya memang ada kaitannya dengan dominasi ekstra. Karena bagaimana pun di perguruan tinggi itu merupakan ladang yang subur untuk menumbuhkan benih-benih keorganisasian yang lebih matang dan merupakan ajang untuk membina mahasiswa dalam berorganisasi. Kalau pun ada dominasi dari salah satu ekstra itu merupakan hal yang wajar terjadi, karena bukan hanya di IAIN saja yang begitu, tetapi di Universitas-universitas lain juga didominasi oleh ekstra termasuk juga Universitas yang tidak berbasis Islam. Dengan begitu yang mendominasilah yang akan berkuasa di lingkungan kampus tersebut, termasuk dalam birokrasinya.
Sangat berbeda sekali dengan apa yang dilontarkan oleh Neha (20) (ketua HMJ Manajemen Dakwah) bahwa “Politik kampus tidak ada kaitannya dengan OMEK, karena ekstra berjalan sendiri dan kebijakan di intern kampus kita berjalan sendiri, kalaupun ada seorang yang dipilih oleh mahasiswa menjadi pemimpin jurusan (contohnya), dimungkinkan karena ada kedekatan emosional mahasiswa terhadap orang yang menjadi calon ketua. Bukan karena yang lain”, begitu tuturnya.
Dalam berpolitik di kampus bukanlah semata-mata untuk mendapatkan kekuasaan saja, tetapi yang lebih penting adalah mahasiswa mendapatkan pelajaran dalam mengelola sebuah organisasi dan melakukan cara untuk mendapatkan apa yang organisasi inginkan, dengan berbasis pergerakan atau sebagainya. Tetapi tidak menutup mata apabila dalam melaksanakannya banyak terjadi perselisihan dan kontra antara satu dengan yang lain atau juga antar kelompok, yang dapat menjadikan perpecahan diantara mereka.


Missi Magazine is powered by FREEmium Theme.
developed by Blogger templates and brought to you by Blogger Tools